Mahasiswa Protes UKT Universitas Sumatera Utara Naik 30-50 Persen
Uang kuliah di USU naik 30-50 persen. Media belajar banyak yang rusak, toilet kotor, air bersih kurang.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
Penerapan kebijakan Kampus Merdeka dinilai masih jauh dari tujuannya. Di sebagian kampus justru berbuah menyengsarakan mahasiswa.
Di Universitas Sumatera Utara, Rabu (8/5/2024), mahasiswa berunjuk rasa di Kantor Biro Rektor USU. Mereka menolak uang kuliah tunggal yang kembali naik tahun ini. Padahal, fasilitas belajar di kampus dinilai masih buruk. Media belajar banyak yang rusak, ruang kuliah tanpa kipas atau penyejuk udara, toilet kotor, dan kekurangan air bersih.
”Uang kuliah tunggal di USU tahun ini naik lagi 30 persen sampai 50 persen. Calon mahasiswa baru mengeluhkan uang kuliah tunggal (UKT) yang naik secara tiba-tiba saat penerimaan mahasiswa sudah pada tahap pendaftaran ulang,” kata Presiden Mahasiswa USU M Aziz Syahputra saat unjuk rasa di Biro Rektor USU.
Ratusan mahasiswa mengenakan jaket almamater hijau USU berkumpul di depan pintu utama Biro Rektor. Mereka menyampaikan aspirasi dengan berorasi, membentangkan spanduk, dan juga poster. Di poster dan spanduk antara lain disebut ”Kampus Disegel, Mahasiswa Dibunuh UKT” dan ”Kampus Merdeka Mahasiswa Merana”.
Aziz menyebut, mahasiswa baru USU sangat terpukul dengan kenaikan UKT untuk mahasiswa jalur masuk seleksi nasional berdasarkan prestasi, seleksi nasional berdasarkan tes, ataupun seleksi mandiri.
Dengan kenaikan itu, UKT untuk kelompok VIII atau UKT tertinggi kini mencapai Rp 8,2 juta sampai Rp 14,7 juta per semester, tergantung program studinya. Untuk Pendidikan Dokter dan Dokter Gigi bahkan mencapai Rp 30 juta dan Rp 27 juta. Untuk jalur mandiri, UKT ditambah lagi dengan iuran pengembangan institusi.
UKT di USU, kata Aziz, bahkan rata-rata lebih mahal daripada sebagian besar kampus swasta. Keberadaan USU sebagai kampus negeri yang mendapat subsidi dari pemerintah dipertanyakan.
”Uang kuliah lebih mahal, tetapi fasilitas di USU yang merupakan kampus negeri jauh lebih buruk,” kata Aziz.
Saat berdialog dengan pihak kampus, mahasiswa bergantian menyampaikan aspirasinya. Mereka diterima Wakil Rektor I Edy Ikhsan, Wakil Rektor II M Arifin Nasution, dan Wakil Rektor V Luhut Sihombing, dan sejumlah dekan dan dosen pengajar.
Mahasiswa dari Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian mengatakan, mereka hingga kini tidak mempunyai ruang kuliah khusus untuk program studinya. Dalam beberapa mata kuliah, mereka belajar di ruang aula dengan jumlah mahasiswa lebih dari 120 orang.
”Ruangan panas tanpa kipas atau AC. Dengan jumlah mahasiswa sebanyak itu, kami tidak bisa belajar dengan baik,” katanya.
Mahasiswa lain mempertanyakan pembangunan gedung megah Kantor Biro Rektor, tetapi toilet-toilet di kampus tidak terurus. Di lingkungan kampus juga kian banyak dibangun kafe dan minimarket. Pembangunan di kampus dinilai mengarah pada komersialisasi.
Mahasiswa jalur mandiri Fakultas Kedokteran Gigi menyebut dirinya membayar Rp 25 juta per semester. Namun, mereka harus belajar di aula yang panas dengan mahasiswa lebih dari 100 orang. Dengan mahasiswa sebanyak itu, mereka hanya diampu satu orang dosen.
Ada memang kenyataannya seperti itu. Namun, kalau dikatakan tidak ada perbaikan fasilitas, enggak juga.
Andika Yudhistira, mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat yang juga dari Humas Pema USU, mengatakan, biaya operasional kampus diproyeksikan hanya naik empat persen, dari Rp 1,098 triliun pada 2023 menjadi 1,146 triliun pada 2024. Namun, kenaikan UKT menyentuh 30-50 persen.
Andika menyebut, mereka juga menyesalkan pernyataan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengatakan kenaikan UKT merupakan kebijakan dari kampus masing-masing. Namun, ketika ditanyakan ke kampus, pihak kampus menyebut kenaikan itu adalah kebijakan dari Kemendikbud.
Menanggapi pernyataan mahasiswa, Wakil Rektor I USU Edy Ikhsan mengatakan, kenaikan UKT yang mereka lakukan sudah sesuai dengan regulasi dari Kemendikbud.
”Penyesuaian UKT tidak semata dibuat oleh USU tanpa berpijak pada regulasi. Sudah sesuai dengan regulasi, tidak ilegal, dan tidak ugal-ugalan,” kata Edy.
Menurut Edy, kenaikan UKT tidak terjadi di semua kelompok. Pada kelompok I yang merupakan mahasiswa dari keluarga miskin, UKT tetap Rp 500.000. Untuk kelompok II, III, dan IV berkisar Rp 1 juta, Rp 2,4 juta, dan Rp 3,2 juta.
”Perlu diketahui, sekitar 45 persen mahasiswa dari jalur prestasi berada di kelompok I-IV,” kata Edy.
Soal fasilitas kampus yang tidak sesuai harapan mahasiswa, kata Edy, tidak sepenuhnya benar. Kampus USU terus melakukan perbaikan fasilitas dari tahun ke tahun. ”Ada memang kenyataannya seperti itu. Namun, kalau dikatakan tidak ada perbaikan fasilitas, enggak juga,” ujar Edy.
Edy menyebut, kampus USU juga terbuka untuk mengoreksi pengelompokan UKT mahasiswa baru. Jika pengelompokan UKT tidak sesuai dengan kemampuan keluarga, kampus akan mengoreksi dan menurunkannya ke kelompok yang sesuai.