Katastrofe Bahasa Daerah
Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di beberapa mata pelajaran pilihan di sekolah perlu digalakkan lagi.
Prospek suram bahasa daerah di Indonesia pernah dipertanyakan oleh Hein Steinhauer (1992) dalam artikelnya berjudul The Indonesian Linguistic Scene: 500 Languages Now, 50 in The Next Century? Seolah mengamini prediksi tersebut, rilis data Global Endangered Languages (2023) dari Derivation: Insight baru-baru ini menempatkan Indonesia pada posisi puncak sebagai negara dengan jumlah bahasa daerah terancam punah paling banyak di dunia.
Sebuah katastrofe bagi ekologi lingustik di Nusantara, ekosistem dengan keberagaman linguistik (linguistic diversity) terbesar kedua setelah Papua Nugini. Bahkan, Steinhauer tanpa ragu menyebut Indonesia sebagai Mecca for linguists and linguistics.
Berdasarkan studi yang dilakukan Bromham bersama para sejawatnya (2022), tanpa adanya intervensi, tendensi language loss dapat meningkat hingga tiga kali lipat dalam kurun waktu 40 tahun, dengan setidaknya satu bahasa akan hilang setiap bulan.
Salah satu temuan menarik dari studi berjudul Global Predictors of Language Endangerment and the Future of Linguistic Diversity tersebut mengungkapkan bahwa pendidikan formal (atau lebih spesifiknya higher average years of schooling—rerata tahun bersekolah lebih tinggi) ternyata dapat berkontribusi terhadap hilangnya keberagaman bahasa.
Temuan ini memicu diskursus kritis dan menjadi pemantik agar kebijakan pendidikan (multi)bahasa, terutama di level pendidikan formal, segera direformasi.
Baca juga: Bahasa Daerah Akankah Punah?
Sejalan dengan fenomena tersebut, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan tanggal 21 Februari sebagai International Mother Language Day atau Hari Bahasa Ibu Internasional. Tema selebrasi tahun 2024 ini adalah multilingual education is a pillar of intergenerational learning (pendidikan multilingual adalah pilar pembelajaran antargenerasi).
Penitikberatan tema pada aspek pendidikan ini tampaknya berkelindan dengan riset Bromham dkk (2022) yang merekomendasikan pendokumentasian bahasa, program pendidikan bilingual, dan berbagai program berbasis komunitas lainnya.
Perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional ini seyogianya berjalan beriringan dengan kesadaran serta aksi nyata dan kontinu pelestarian bahasa ibu. Jadi, bukan sekadar gegap gempita seremonial dengan aneka webinar dan seminar serta unggahan foto twibbon dengan takarir dan tagar yang fancy belaka.
Sayangnya, berdasarkan hitungan vitalitas bahasa oleh Ethnologue (2024), sekitar 506 di antara bahasa-bahasa daerah di Indonesia saat ini berstatus endangered atau terancam eksistensinya, bahkan 14 bahasa daerah kini telah benar-benar punah. Rapor merah bagi kontinuitas bahasa daerah di Indonesia.
Pergeseran bahasa
Bahwa bahasa-bahasa di Indonesia saling berkompetisi terbukti nyata. Kontestasi tiga domain bahasa (nasional, daerah, dan asing) ini salah satunya tampak dari hasil investigasi terhadap data Google Trends rentang 2004 hingga 2024.
Dengan memasukkan kata kunci ”Bahasa Indonesia”, ”Bahasa Inggris”, dan bahasa daerah, misalnya ”Bahasa Jawa” atau ”Bahasa Sunda” (context-specific), terlihat bahasa Inggris dan bahasa Indonesia jauh lebih mendominasi daripada bahasa daerah, seperti bahasa Jawa dan Sunda dari segi interest over time (tingkat minat dari waktu ke waktu). Selain itu, supremasi dan ”imperialisme” bahasa Inggris disinyalir menjadi biang kerok fenomena sosial keminggris atau keinggris-inggrisan (Anglicized) di kalangan generasi muda.
Keluarga-keluarga modern dewasa ini juga cenderung lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi dan interaksi sehari-hari. Bahkan, tidak sedikit yang kini sudah mulai membudayakan berbahasa asing ketika di rumah, terutama bahasa Inggris. Kedua domain bahasa (nasional dan asing) tersebut dianggap memiliki fungsionalitas yang lebih tinggi daripada bahasa daerah.
Keberadaan bahasa daerah akhir-akhir ini tampaknya sekadar menjadi konfeti atau penghias mata pelajaran di sekolah-sekolah.
Adapun faktor primer yang mendorong pergeseran bahasa (language shift) ini adalah pengaruh bahasa orangtua terhadap repertoar linguistik anak-anak mereka, yang pada akhirnya mengakibatkan kegagalan dalam transmisi bahasa daerah antargenerasi. Hal ini diungkapkan oleh tiga peneliti dari Amerika Serikat—Maya Ravindranath Abtahian, Abigail C Cohn, dan Thomas Pepinsky (2016)—yang mengkaji modeling social factors in language shift dengan studi kasus Indonesia.
Akibatnya, berbagai bahasa daerah di Indonesia kini mengalami reduksi jumlah penutur aslinya. Sebagai contoh, berdasarkan observasi data di laman Ethnologue, bahasa Jawa yang notabene bahasa daerah terbesar di Indonesia mengalami kehilangan penutur yang signifikan, dari 84 juta pada 2018 menjadi 68 juta pada 2022.
Apabila bahasa sebesar bahasa Jawa saja tidak dapat menghindar dari risiko ancaman kepunahan, bahasa-bahasa daerah lainnya yang jauh lebih sedikit penuturnya tak ayal lagi akan menerima konsekuensi yang lebih berat, yaitu kepunahan.
Selain itu, keberadaan bahasa daerah akhir-akhir ini tampaknya sekadar menjadi konfeti atau penghias mata pelajaran di sekolah-sekolah. Lemahnya habituasi penggunaan bahasa daerah di lingkungan sekolah—selain di rumah dan masyarakat— merupakan salah satu ”motor penggerak” kegagalan preservasi bahasa daerah di setiap provinsi di masa mendatang.
Pendidikan multilingual
Kebijakan penggunaan bahasa ibu atau bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di beberapa mata pelajaran pilihan di sekolah-sekolah perlu digalakkan kembali. Penggunaan bahasa ibu di sekolah memberikan sedikitnya enam manfaat yang meliputi keterjangkauan akses pendidikan, peningkatan literasi dan hasil belajar, akselerasi performa belajar bahasa asing, efisiensi biaya pendidikan, peningkatan rasa percaya diri siswa, dan pemicu partisipasi aktif dari masyarakat serta aksentuasi konservasi budaya (Laporan RTI International dalam Kemendikbudristek, 2021).
Upaya ini semestinya didukung juga dengan kapasitas guru yang mumpuni dan ketersediaan materi pembelajaran yang inovatif. Salah satu inisiasi menarik dari Badan Bahasa adalah pengembangan, produksi, dan diseminasi buku cerita anak dwibahasa (kombinasi bahasa daerah dan Indonesia). Buku-buku tersebut disediakan gratis melalui akses di laman resmi Balai Bahasa setiap provinsi.
Di lingkungan keluarga, perlu dikembangkan pula kurikulum khusus pengajaran multibahasa kepada anak sebagai bagian dari implementasi Family Language Policy (FLP). Terlebih, maraknya pernikahan antaretnis rawan menjadi stimulan hilangnya penutur bahasa daerah masa depan, baik dari segi bahasa daerah sang ibu maupun ayah.
Upaya ini semestinya didukung juga dengan kapasitas guru yang mumpuni dan ketersediaan materi pembelajaran yang inovatif.
Kurikulum ini sesederhana berupa pembagian jadwal habituasi berbahasa untuk hari-hari yang telah disepakati oleh orangtua (dan anak). Walaupun terkesan membingungkan bagi anak, multilingualisme ini ternyata memiliki manfaat yang jelas secara ilmiah, antara lain perlindungan terhadap posibilitas kemunduran kognitif ketika tua atau healthy aging, peningkatan pemahaman antarbudaya, dan bertambahnya peluang interaksi sosial.
Sementara itu, di lingkungan masyarakat, penggunaan bahasa daerah di acara-acara formal maupun nonformal perlu ditekankan. Lanskap lingustik atau pemanfaatan bahasa (daerah) di ruang-ruang publik seperti penulisan nama atau label berbahasa daerah di stasiun, terminal, toko kelontong, tempat ibadah, dan lain-lain, juga patut mendapatkan atensi dari pemerintah daerah setempat.
Selain itu, gelaran rutin dengan tema Tanggap Berbahasa Daerah dalam bentuk pentas dan pameran seni budaya di area-area terbuka serta urun daya digital (digital crowdsourcing) dapat menjadi salah satu pilihan komunal dalam memasyarakatkan bahasa lokal bagi lintas generasi.
Baca juga: Berbahasa Daerah Itu Keren
Dengan demikian, pengarusutamaan Trigatra Bangun Bahasa bukan lagi slogan belaka, melainkan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari serta katalis bagi katastrofe bahasa daerah. Bahwa bahasa Indonesia diutamakan, bahasa daerah dilestarikan, dan bahasa asing dikuasai merupakan sebuah kebijakan nasional berbahasa yang sudah adekuat.
Hal ini juga sekaligus menjadi refleksi bahwa ekologi linguistik global kontemporer masih mungkin untuk dapat diusung. Akhirnya, bahasa-bahasa yang ada di Nusantara (nasional, daerah, dan asing) tidak akan saling ”membunuh” satu sama lain dan tetap dapat koeksis dalam harmoni Bhinneka Tunggal Ika.
Muzakki Bashori, Dosen dan Peneliti Bahasa Universitas Negeri Semarang
Instagram: muzakkibashori