Dorong Gen Z Jadi Petani, Akademisi: Penuhi Dulu Lahan Minimal 1 Hektar
Program penumbuhan petani milenial kerap terhenti karena para petani pemula sulit memenuhi skala ekonomi lahan minimum.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Petani Indonesia saat ini masih didominasi golongan tua dengan lebih 70 persen petani telah berusia di atas 43 tahun. Demi regenerasi petani, Kantor Staf Presiden atau KSP berkomitmen mendorong generasi Gen Z menjadi petani. Namun, akademisi menilai generasi muda enggan bertani karena minimal harus punya sawah 1 hektar agar bisa hidup layak.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan, program regenerasi petani harus dilakukan secara inklusif dan kolaboratif guna mempercepat prosesnya. ”Dengan semakin tuanya demografi petani saat ini, terdapat kebutuhan mendesak untuk mendorong generasi muda agar tertarik masuk sektor agraris sebagai pilihan karir,” kata Moeldoko dalam keterangan pers tertulis yang dirilis pada Kamis (9/5/2024).
Tujuan program ini guna mencetak petani-petani muda yang adaptif dengan berbagai metode pertanian, seperti permaculture, pertanian ramah lingkungan, penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna, hingga pertanian pintar yang memanfaatkan teknologi internet of things (IoT). Moeldoko menekankan bahwa program ini harus memiliki dampak langsung dalam meningkatkan jumlah petani muda yang berkompeten dan inovatif.
Berdasarkan data sensus pertanian dari Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini 70 persen lebih petani Indonesia berusia di atas 43 tahun, dengan hanya 2,14 persen yang tergolong dalam kategori muda atau Gen Z. Situasi ini menambah urgensi untuk mempromosikan regenerasi di kalangan muda demi memastikan ketahanan pangan nasional.
Dengan semakin tuanya demografi petani saat ini, terdapat kebutuhan mendesak untuk mendorong generasi muda agar tertarik masuk sektor agraris sebagai pilihan karier.
Akses sumber daya
Pengajar Program Studi Ekonomi Pertanian dan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Gilang Wirakusuma, mengatakan bahwa tenaga kerja pertanian dan petani memang didominasi oleh golongan masyarakat berusia lanjut. Kondisi ini merupakan tren global ketika angkatan kerja usia muda dan produktif cenderung bekerja di sektor nonpertanian.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan generasi muda enggan menjadi petani adalah akses pada sumber daya lahan. Saat ini, skala lahan mayoritas petani adalah kurang dari 1 hektar disertai fakta bahwa biaya penguasaan lahan yang terus meningkat. Program penumbuhan petani milenial yang pernah dijalankan pemerintah dalam rentang 5 tahun terakhir kerap terhenti karena para petani pemula sulit memenuhi skala ekonomi lahan minimum.
Program penumbuhan petani milenial yang pernah dijalankan pemerintah dalam 5 tahun terakhir kerap terhenti karena para petani pemula sulit penuhi skala ekonomi lahan minimum.
Merunut hasil kajian para peneliti pertanian di UGM pada tanaman strategis, misalnya padi sawah, maka lahan minimum yang dibutuhkan adalah 1 hektar untuk sawah di Jawa dan sekitar 2-3 hektar sawah di luar Jawa. Namun, keuntungan yang dihasilkan dari skala tersebut pun hanya untuk mencapai standar kebutuhan hidup layak dengan asumsi dua kali tanam padi dalam setahun.
Angkatan kerja saat ini dinilai lebih realistis terkait pilihan ekonomi, khususnya mata pencarian. Sektor pertanian merupakan sektor yang dipandang low profit dan high risk. Iklim usaha dan kebijakan pemerintah untuk mendorong nilai tambah di sektor pertanian kerap menemui dualisme antara kepentingan produsen dan konsumen pangan.
Luar negeri
Fenomena di lapangan juga menunjukkan bahwa banyak angkatan kerja muda Indonesia memilih berprofesi pada kegiatan on farm di luar negeri, seperti Jepang, Australia, dan Taiwan. ”Mengapa mereka mau? Karena economic return-nya jauh lebih besar daripada bekerja pada sektor pertanian di Indonesia,” ucap Gilang.
Petani mengharapkan harga yang menguntungkan, sementara konsumen menginginkan harga semurah mungkin.
Pada akhirnya, generasi muda memilih beralih profesi ke sektor nonpertanian walaupun masih memiliki kewajiban untuk berpartisipasi pada program tersebut. Terkait rencana KSP untuk melaksanakan berbagai program kerja praktis untuk regenerasi petani, Gilang menekankan bahwa menarik minat pemuda bukan hanya melalui insentif dan introduksi di aspek budidaya saja, melainkan juga diperlukan kebijakan yang berpihak nyata untuk menjamin perolehan pendapatan yang layak bagi mereka.
Dalam bingkai subsistem agribisnis, selain aspek budidaya, wajib bagi pemerintah untuk menjaga iklim kondusif pada aspek hulu, hilir dan pemasaran, sarana pendukung, dan regulasi. Selain perencanaan agenda KSP tersebut, perlu diupayakan strategi pendamping. Dari sisi promosi, misalnya, pengenalan usaha tani yang menguntungkan perlu dilaksanakan semenjak usia sekolah dan melalui kurikulum yang terstruktur.
Kami berencana mengembangkan platform kolaboratif yang akan menyatukan berbagai program dari pemangku kepentingan untuk sinergi yang lebih efektif.
Kehadiran petani Gen Z diharapkan juga dapat berkontribusi pada revitalisasi sektor pertanian Indonesia. Moeldoko yakin, munculnya perusahaan-perusahaan baru yang dikelola petani muda dapat menjadi katalis bagi generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian. ”Menjadikan sektor pertanian sebagai ladang keuntungan yang menarik dan memiliki potensi pengembangan yang signifikan adalah esensial. Terutama dengan penerapan teknologi terkini,” kata Moeldoko.
Program regenerasi petani yang diinisiasi KSP ini juga akan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan lintas kementerian, lembaga, organisasi kepemudaan Pramuka, perusahaan-perusahaan BUMN, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), serta Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Tujuannya menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan petani muda yang terampil dan berwawasan luas.
Rapat yang dipimpin Moeldoko terkait regenerasi petani di Gedung Bina Graha, Rabu (8/5/2024), juga dihadiri Deputi Bidang Pangan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan perwakilan FAO, Dida Gardera. Mereka mencapai konsensus mengenai kerja sama penguatan program regenerasi petani. Kemitraan ini akan mendinamisasi sektor pertanian dengan mengintegrasikan teknologi modern.
Dida Gardera menyatakan bahwa Kemenko Perekonomian mendukung penuh program regenerasi petani yang diinisiasi KSP. ”Kami berencana mengembangkan platform kolaboratif yang akan menyatukan berbagai program dari pemangku kepentingan untuk sinergi yang lebih efektif,” ujar Dida.